Sanggupkah kamu menahan tangis sampai di penghujung malam?

“Menulislah untuk menyenangkan hati seseorang.” — Kurt Vonnegut

Fidhia Kemala
11 min readApr 5, 2020
Close by Aanchal T

Detak jantungnya seakan tertinggal di detik terakhir lonceng itu berbunyi. Laki-laki di hadapannya kembali menghisap rokok yang sudah tinggal setengah kelingking jari. Sambil menahan kumpulan asap masuk ke dalam nasofaring dan membuangnya bebas ke udara, laki-laki itu mendorong kursinya mundur.

Raut mukanya menujukkan dirinya keberatan dengan penjelasan yang baru saja ia dengar. Jika tidak demikian, mungkin laki-laki ini tak kuasa mencerna rangkaian kalimat beserta gagasan yang dimaksud. Atau yang lebih buruk, ia merasa sedang dikibuli mentah-mentah.

Struktur kalimatnya memang kurang padu, penuturannya pun tidak lugas dan terkesan repetitif di beberapa bagian, tapi Wigani berusaha keras menjaga fokus idenya tak melenceng ke mana-mana. Menurutnya, pilihan katanya sudah tepat untuk menggambarkan perasaanya dengan gamblang. Selama ini, Wigani telah berlatih keras menerjemahkan pergulatan emosi yang menetap dalam kabin-kabin tersembunyi ke dalam wujud kata-kata bernarasi.

Asap rokok itu mengepul tepat ke wajah Wigani, kontan ia terbatuk-batuk. Matanya perih bukan main. Paparan asap rokok merangsang kelenjar air matanya bekerja melindungi selaput matanya yang terkikis asap. Matanya langsung merah berkaca-kaca.

Sejak mereka datang ke kafe ini, Wigani sudah keberatan duduk di area merokok. Seringkas mungkin Wigani menjelaskan bahwa ia merupakan pengidap alergi rinitis yang tak tahan dengan paparan asap rokok apapun wujud aslinya. Baik tembakau maupun cairan, padat nikotin atau minim nikotin, saluran pernapasannya tetap tak cukup toleran terhadap substansi tersebut. Sistem napasnya cepat atau lambat akan memproduksi lendir-lendir secara berlebihan untuk dikeluarkan melalui saluran hidungnya yang sempit.

Laki-laki ini bukannya tak mengenal kompromi atau tak acuh dengan perkara kesehatan, namun mereka sudah hampir dua jam duduk dengan perut kosong di luar dalam antrian daftar tunggu. Wigani menyadari teman kencannya malam ini bukan hanya setengah mati menahan rasa lapar, tapi juga hampir nelangsa karena tak kunjung menyesapkan asap rokok ke dalam paru-parunya sejak 4 jam lalu, terhitung dari mereka terjebak macet di perjalanan.

“Apa boleh buat,” bibirnya membentuk senyum tipis sesaat pelayan mengumumkan bahwa tidak ada lagi meja kosong yang tersisa di area bebas rokok. Semua meja di ruangan dalam telah full-booked sampai jam terakhir kafe ini beroperasi. Gila betul orang-orang di malam minggu, melepas waktunya begitu saja untuk bercengkrama hingga larut. Jauh di dasar lubuk hatinya, Wigani tak meyakini bahwa ada area di kafe ini yang bebas dari kepulan asap buangan. Sejak menekan nomor waiting list, dadanya sudah sesak tak karuan.

“Tolonglah, kau tak perlu sampai menangis segala. Aku sekadar bertanya,” ucap laki-laki itu seusai menyudahi hisapan rokok terakhirnya. Wigani mengusap air matanya yang mengucur. Ia tak menangis karena tersentak dengan pertanyaan lelaki itu, tapi karena tak kuasa menahan perih asap di matanya, sekalipun nyatanya pertanyaan itu cukup menggoyahkan kegentarannya. Ia tak menggubris, malah mengarahkan perhatiaannya pada pelayan yang baru saja melewati meja mereka, “Sebaiknya kita minta bill.”

Malam telah berangsur larut, krusi-kursi kafe telah disisihkan, ditengkurapkan masuk ke dalam meja. Hanya beberapa yang masih tegak, diduduki sekumpulan orang yang masih sibuk bertukar cerita. Asap yang keluar dari dapur kian menipis bercampur rata dengan emisi pembakaran lainnya, lantas bergerumul siap melukai dinding paru kala terhisap bersamaan dengan keringnya udara malam. Lonceng berdentang beberapa kali, sebagai peringatan penerimaan pesanan terakhir.

Koki-koki di dapur telah melipat celemek, menggosok pisau-pisaunya dengan sabun disinfektan dan menatanya kembali dalam rak. Piring kotor menumpuk diujung wastafel, dua orang pelayan bahu-membahu menuangkan sisa makanan dari wadah keramik itu ke dalam kantung sampah hitam. Akan tiba segera, keduanya mengernyit sepanjang malam akibat menahan bau makanan yang bercampur seraya menyayangkan sisa makanan yang terbuang.

Mereka terlalu lama mengantri, hanya sedikit waktu yang tersisa untuk bisa mengobrol. Lampu yang menerangi separuh area kafe telah dipadamkan. Rombongan yang mengantri di belakang mereka telah lelah menanti dan memilih minggat dengan bunyi keroncongan di perut. Sesampainya makanan yang telah dipesan, mereka segera menghabiskannya dalam hening. Meski rasa lapar yang meregang telah memacu kecepatan mereka melahap makanan, tidak banyak waktu yang tersisa untuk mengarahkan percakapan pada hal-hal yang membuat satu sama lain mengenal lebih dekat.

Mereka telah cukup banyak melontarkan dan menjawab pertanyaan basa-basi kala mengantri, mulai dari kondisi pekerjaan di kantor hingga kiat masing-masing menjaga ketahanan tubuh dalam desakan pekerjaan yang kapanpun memungkinkan mereka untuk jatuh sakit. Obrolan selepas makan jadi terkesan terburu-buru, pertanyaan disudahi begitu saja dengan satu-dua patah jawaban. Padahal banyak yang bisa digali dari jawaban-jawaban singkat yang bercelah, tapi kesadaran akan waktu yang terbatas seakan membekukan rasa penasaran kedua belah pihak.

Percakapan itu sampai pada sebuah pertanyaan yang tak terelakkan. Wigani tak memiliki jawaban singkat untuk laki-laki yang mempertanyakan mengapa ia menyendiri tanpa pasangan begitu lama. Ini bukan yang pertama kali, tapi pertanyaan macam ini selalu mengembalikan ingatannya pada irama jantung yang sekejap hilang saat pihak HRD mempertanyakan kenapa ia hampir setahun menganggur. Pertanyaan, yang disengaja ataupun tidak, siap menelanjangi ketidakmampuannya dalam menjalani hidup ideal yang terpatri dalam unggahan harian di media sosial.

Sebelumnya, ia memilih jawaban yang menghendakinya bersembunyi dalam ketatnya asas privasi. “Untuk pertemuan pertama, pertanyaanmu kelewat personal. Aku belum siap membagikan ceritanya.” Situasinya kala itu jauh berkebalikan dengan momen kencannya saat ini, keingintahuan lawan bicaranya malah meningkat dan berujung pada pertanyaan yang ternyata menjelma menjadi bom waktu. “Apa yang salah denganmu?”

Kini dengan persiapan emosional yang matang, ia memutuskan untuk keluar dari persembunyian. Dari kalimat yang tersusun kurang padu dan tanpa kelugasan bertutur, ia menggambarkan hilangnya hasrat untuk menyukai orang lain secara romantis, ia tak menemukan daya tarik yang sanggup membuat hatinya berdegup tak terkendali.

Wigani menyadari intonasi suaranya perlahan-lahan menaik di penghujung kalimat, ia membayangkan wajahnya yang gelagapan sebagaimana perempuan-perempuan yang tengah mengadu pada petugas setelah dilecehkan di kendaraan umum. Naluri ktitisnya mengutuk diri, mengapa ia mesti juga mengucap bertahun-tahun merindukan rasa hangat yang tiba-tiba mengisi relung yang kosong selayaknya saat bertemu dengan seorang tambatan hati. Ia bisa melihat ekspresi kejut pada wajah teman kencannya seolah tak bersedia memahami apa yang baru saja ia dengar.

Namun ia tak sedang mencari validasi dari siapapun, Wigani hanya menanti kebebasan dari beban persembunyiannya. Alangkah sial keadaan berkata sebaliknya, ia tak mendapati pengakuannya menghasilkan kelegaan, ia tak menemukan beban itu menguap, lepas dari ikatan erat dari dalam tubuhnya. Padahal ia berharap setidaknya asap-asap rokok yang kini bergerak menjauhi wajah meninggalkan sesuatu yang bisa meringankan hatinya. Tak sekedar mengiris-iris selaput mata dan saluran pernapasan, namun turut membawa beban itu pergi. Sayup-sayup ia mendengar kembali pertanyaan sinis yang dilontarkan teman kencannya dulu, “Apa yang salah denganmu?”

Laki-laki itu keberatan mengantar Wigani sampai rumah. Perutnya terlampau penuh menyebabkan rasa kantuk yang nampaknya tak kuasa ia tahan dalam perjalanan. Arah kemana keduanya pulang bukan hanya berlawanan, tapi juga dipisahkan kota di mana mereka bertemu saat ini. Teman kencannya ini bisa celaka jika harus mengemudi dalam keadaan mata berat dengan jarak tempuh dua kali lipat. Sebagai kompensasi karena telah menyebabkan alergi rinitisnya kambuh, laki-laki itu mengantarkan Wigani sampai ke statsiun kereta terdekat.

Setelah kencannya berakhir canggung, Wigani sebenarnya sudah kehabisan energi untuk menghadapi perjalanan pulang yang panjang. Ia bersiasat untuk tidur di kereta hingga tiba di tujuan terakhir. Lagipula, ia naik kereta dengan jam keberangkatan terakhir, yang artinya mampu melaju dengan kecepatan tinggi. Tapi, pikirannya terlalu penuh untuk bisa melarikan diri ke alam mimpi. Alih-alih terlelap, matanya terbuka lebar menyaksikan kelibatan bayangan di jendela yang terlampau cepat untuk ditangkap bentuknya. Kursi-kursi di gerbong ia berada kosong melompong. Ingin rasanya Wigani merebahkan diri sehingga bisa memejamkan mata.

Laju kereta kini terasa sangat lamban, seperti bergerak melawan relativitas yang menyebabkan ia dan penumpang lainnya tak berpindah ke mana-mana. Tak kunjung mendekati tujuan akhir masing-masing. Setiap kereta tiba pada statsiun pemberhentian dan kembali melaju, kecepatannya semakin berkurang. Penantian untuk bisa secepatnya berbaring di ranjang setengah empuk sambil memeluk kucing kesayangan semakin tertunda. Mau tak mau, ia harus tersisih sampai ke dalam gelap penghujung malam.

Wigani memutuskan untuk luput dikuasai rasa jengah, ia perlahan mencodongkan tubuhnya ke samping bersiap untuk berbaring di kursi kereta yang kosong. Matanya siaga menangkap amatan petugas yang kerap berkeliling gerbong. Saat separuh badannya hampir mendarat telentang, kereta melangsangkan rem secara tiba-tiba membuat tubuhnya terpelanting ke depan. Ia jatuh tersungkur. Sebelum ia beraksi histeris, ia telah duluan merasakan denyut perih di kulit pelipisnya.

Setelah matanya merah meradang, kini penglihatannya berubah kabur. Jika matanya terus mengikuti pergerakan bayangan di jendela, ia tahu cepat atau lambat ia akan muntah. Membenamkan pandangan dalam layar ponsel juga hanya membuat kepalanya semakin pening. Jika ia mendorong layar ponselnya bergerak ke atas sekali lagi untuk menyingkap perpanjangan lini masa, bisa dipastikan kepalanya akan segera pecah.

Namun, padangannya segera teralih pada klip iklan di layar monitor yang menggantung di plafon kereta. Matanya kini membelalak seiring ia menangkap satu per satu kata yang muncul. Iklan itu mengantarkan pesan mengenai penyalur jasa kelonan yang bisa dihubungi via online.

Wigani pernah menyimak obrolan teman kantornya yang menggunakan jasa tersebut. Salah satu dari temannya terpuaskan dengan layanan afeksi ini. Keunggulan dari jasa kelonan adalah siapapun bisa terhindar dari segala risiko hubungan seks karena pelayanan yang diberikan hanya sebatas cumbuan, yang termasuk pelukan dan belaian. Dari layanan ini, temannya belajar bahwa keintiman bisa lebih berharga dari kepuasan seksual, sekalipun diperoleh dari kontak fisik sesaat dengan orang asing.

Nama penyedia jasa dalam iklan tersebut berbeda dengan yang disebutkan temannya. Ia tak menyangka, praktik macam ini lekas menjamur tanpa ada konfrontasi berarti dari publik. Hal ini bisa bercermin pada dua arti, pasar bisnisnya tak perlu repot membentuk iklim industri karena peminatnya berlimpah, atau temannya benar soal seks yang sudah tidak menyenangkan lagi.

Jika diberikan kesempatan untuk menyelidiki, ia akan memilih kemungkinan kedua. Sebagai target pasar layanan kelonan, ia takut tergoda untuk memakai jasanya dan berujung jadi pelanggan setia karena kadung ketagihan. Ia sadar pundi-pundi di rekeningnya bisa seketika ludes begitu saja, terhitung harga per durasi waktunya begitu tinggi.

Wigani termangu saat ia menyadari bahwa kini kereta yang ditumpanginya berhenti sementara. Sekalipun ia sama sekali tak harus berbagi udara dengan penumpang lain, keadaan saat ini jauh lebih buruk daripada saat ia berada dalam gerbong yang dijejal manusia, hingga kulitnya bersentuhan dengan keringat yang mengucur di kulit penumpang lainnya. Tak jarang bau asam itu ikut terbawa pulang, menempel erat dalam hidung dan baru lepas ketika ditinggal tidur.

Biar bagaimanapun, ia ingin berterima kasih jika tidak bersyukur, bau dari peluh itu lebih sering menyelamatkan dirinya ketimbang membuatnya muntah. Lamat-lamat bau anyir yang kuat mengalihkan kesadarannya dari teror kekosongan malam yang mengintai. Laksana perisai, bau anyir keringat memisahkannya dari kenyataan bahwa ia kehabisan akal dan kehilangan hasrat untuk mengisi waktu senggang selepas bekerja.

Sebaliknya kini, ia semakin tersudut, tak punya pilihan selain harus berhadapan-hadapan langsung dengan malam yang menyeludupkan kegelisahan dari pertanyaan dingin yang selalu menghantuinya, apa yang salah denganmu? Oh, tentulah Wigani paham betul dirinya tak pernah nyaris sempurna, namun mengetahui secara rinci segala hal yang tidak beres dalam diri sendiri ternyata tak menjamin kau bisa berdamai sepenuhnya dengan ketidakmampuanmu.

Sepintas Ia tertegun. Jasa kelonan menawarkan solusi praktis untuk menaklukan kekejaman malam-malam yang senyap, tapi rasanya ia jauh lebih membutuhkan jasa pengantar surat cinta ketimbang keintiman sementara.

Wigani bukannya terjebak dalam lingkaran Pengaggum Sukab Si Pencuri Senja (PSSPS) yang selalu meganggungkan upaya konvensional untuk meraih keromantisan secara utuh. Namun, ia tidak punya persediaan kail yang cukup untuk memancing di balong yang dipenuhi ikan-ikan yang berenang begitu bebas. Mengingat kemampuan memancingnya yang juga tak seberapa mahir, tenaganya bakal terkuras habis jika harus menghabiskan waktu nongkrong seminggu penuh di pinggir balong.

Aplikasi kencan online memuat pilihan yang tak terbatas. Setiap pilihan memiliki peluang terbuka di depan mata yang bahkan ‘keabadiaan’ pun tak akan pernah sanggup menelusurinya satu per satu, kecuali keberuntungan tak pernah putus mengikutinya. Harus berapa kali lagi ia menjalani kopi darat yang berakhir nahas seperti malam ini?

Persetan dengan orang yang kerap berkilah menghibur diri dari percintaan yang kandas dengan ungkapan masih banyak ikan di laut. Padahal menangkap satu di balong saja ia tidak becus.

Ernest Hemmingway melalui karya yang mengantarkanya pada kemenangan nobel sastra, The Old Man on The Sea, menunjukkan pemancing yang sudah berpuluh-puluh tahun menelan asinnya air laut saja cukup puas bersetia hanya dengan satu ikan tangkapannya. Meskipun situasi yang menghimpit membuat pria tua itu tidak memiliki banyak pilihan, tapi sepatutnya ia bersyukur karena keterbatasan dan ketidakberuntungan membuat ia terselamatkan dari maut. Ada kalanya, kita perlu membatasi pilihan sehingga hidup nampak lebih menguntungkan.

Alangkah bermanfaatnya, jika ada jasa pengantar surat yang bisa langsung menyelipkan surat cinta tepat di bawah bantal. Entah bagaimana tukang pos dengan lihainya berhasil masuk ke kamar tidur tanpa harus dicurigai tetangga di sekeliling komplek sebagai maling atau disangka orang seisi rumah sebagai pelaku modus penculikan anak. Cara ini akan lebih efektif ketimbang memasukkan surat cinta ke dalam boks surat yang membuatnya tercampur dengan tagihan-tagihan bulanan keparat sehingga lebih riskan dianggap lalu begitu saja.

Wigani tahu persis di mana ia menyimpan surat cinta untuk Pemuda A. Surat itu belum ia bungkus dengan amplop yang berstempel perangko ataupun bertuliskan alamat tinggal pemuda A sebab dari awal ia tak pernah berniat mengirimkannya. Namun semakin ia menyimpan surat itu jauh di dalam laci, tertimbun oleh ribuan berkas, semakin ia ingin mengirimkannya. Kemandulannya untuk jatuh cinta selama bertahun-tahun telah menghabisi masa-masa di mana ia setidaknya bisa lebih merelakan jika harus jatuh cinta secara diam-diam. Sekarang, jika ia memilih untuk menyimpannya sendiri, cepat atau lambat ia akan keduluan dikirimi undangan pernikahan Pemuda A dan kekasihnya.

Kereta kembali melaju, omong kosong berisi permintaan maaf dari masinis bergema di gerbong yang kosong. Kalau tidak salah dengar si masinis rupanya salah menarik kendali rem. Terserahlah, jika ia bermaksud menarik putus lehernya sendiri pun Wigani tak peduli.

Ia merogoh tisu dan satu tablet antihistamin dari dalam tas lantas menghembuskan udara dari hidung sekuat tenaga sehingga bisa mengeluarkan lendir-lendir kental yang sejak tadi menyumbat napasnya. Ia menelan paksa obat itu, meskipun khawatir tubuhnya akan langsung lemas karena efek sedatif obat tersebut. Tapi reaksi alergi sudah menyambangi kulitnya. Ia bisa merasakan ruam-ruam merah yang disertai rasa gatal muncul di bagian atas lehernya.

Sudah hampir satu tahun berlalu semenjak malam itu, tapi ia masih mengingatnya begitu jelas. Sorot mata sedih Pemuda A yang mengucapkan lebih dari sekadar salam perpisahan. Setiap kali ingatan itu terbentuk, darahnya mendesir deras. Bagaimana dan apa syaratnya seseorang bisa meninggalkan kesan yang begitu membekas dibandingkan yang lain? Di saat Pemuda A sudah menggantikan kenangan singkat itu dengan momen nyata bersama kekasih barunya, kenapa ia memilih untuk bersikeras tinggal dan menetap dalam kenangan tersebut?

Malam itu kencannya tidak berakhir nahas. Pertemuannya dengan Pemuda A tidak berawal dari keputusan menggeser foto Pemuda A ke arah kanan layar ponselnya. Ia mengenal Pemuda A cukup lama, sampai ia lupa hal apa yang pertama kali mereka perbincangkan. Obrolan malam itu mungkin berlangsung sama canggungnya dengan kencannya malam ini, namun ia tak merasa harus berupaya keras untuk terbuka dan berkata jujur. Perlahan-lahan ia merasa bebas menjadi dirinya sendiri. Dan yang terpenting alerginya tidak kambuh.

Wigani tak ingat betul bagaimana ia akhirnya sampai di rumah. Sekelibat, ia mengingat bagaimana ia berupaya menyeret tubuhnya sendiri ke dalam taksi, terseok-seok menahan kantuk pengaruh dari antihistamin yang bekerja, membuat sistem imun tubuhnya perlahan mengenali udara malam yang mengigil beserta sisa-sisa asap rokok yang menempel bukanlah musuh yang terlalu berbahaya.

Setelahnya, ia masuk ke dalam mimpi yang membawanya ke kamar tidur Pemuda A. Anehnya, kamar tersebut mirip betul dengan kamar tidurnya dengan posisi furnitur yang menghadap ke arah yang sama pula. Ia tidak tahu pasti kenapa ia menyakini kamar tersebut sebagai kamar tidur Pemuda A, tapi di penghujung mimpi ia berhasil menyelipkan surat cinta tersebut di bawah bantal.

Pagi ini Wigani terbangun dengan bau apak rokok yang menempeli pakaian hingga ke ujung rambutnya. Tidur membantu alerginya mereda, ia kembali bisa melihat jernih dan bernapas lega. Ketika ia mencoba mengangkat kepalanya, ia merasakan sesuatu yang keras mengganjal bawah bantalnya, seperti sebuah buku dengan sampul tebal. Saat ia menarik benda tersebut dari bawah bantal, ia segera mengenali nama lengkap Pemuda A. Surat cintanya sepenuhnya berubah menjadi undangan pernikahan Pemuda A dengan kekasihnya.

--

--

Fidhia Kemala

Ex-misanthrope who aspires to be a synthesis in the internet society.