Tidak Ada Ruang Aman Merayakan Kesendirian

Fidhia Kemala
9 min readOct 6, 2023

Selebrasi kelajangan kerap disalahartikan. Keputusan melajang masih menjadi tabu dalam masyarakat yang memuliakan pernikahan.

oh … no … left alone. by Ann-Sophie De Steur

Merayakan kehidupan berpasangan adalah hal yang lumrah. Ada hajatan besar-besaran untuk setiap pernikahan. Makan malam romantis disiapkan khusus untuk menghangatkan perayaan anniversary. Ribuan likes, ucapan selamat, dan doa kelanggengan memenuhi unggahan yang memperlihatkan kebersamaan dengan pasangan. Ini perayaan sehari-hari, siapa pun turut senang ketika seseorang menemukan tambatan hatinya.

Kontras, di era modern di mana individu sudah lebih berkehendak menentukan pilihan hidupnya, kesendirian masih tabu untuk dirayakan. Di ruang digital, jarang sekali saya mendapati adanya perayaan semarak untuk orang-orang yang sedang menikmati hidup melajang. Netizen jarang memberikan sambutan yang baik, atau mungkin malas bereaksi. Konten bertemakan bahagia hidup men-jomblo rasanya tak begitu laku, kurang menarik perhatian netizen.

Bahkan, di saat media sosial membuat banyak orang tak sungkan menjadi eksibisionis, saya jarang melihat para lajang memamerkan “kemewahan” hidup melajangnya di media sosial. Bukan tidak ada sama sekali, tapi konten tersebut minim terakses, tidak sebanding dengan jumlah pemuda-pemudi lajang di Indonesia (di atas 19 tahun), yang menurut data BPS menyentuh sekitar 33 juta orang pada tahun 2020.

Pasti sebenarnya ada lebih banyak jomblo yang menyombong soal kesendiriannya di medsos dan saya luput. Algoritma rekomendasi medsos (recommendation algorithm) sudah keburu mengeliminasi konten tersebut karena tidak punya nilai jual yang tinggi (low engagement). Sebuah studi dari jurnal AI and Ethics (2022) menjelaskan recommendation algorithm memungkinkan terbentuknya bias popularitas dan diskriminasi konten karena tebang pilih mengutamakan penyebaran konten trending secara luas. Saya amati memang konten kebersamaan dengan pasangan sering kali viral, atau memiliki engagement yang tinggi, dan diperbincangkan tanpa henti. Perayaan yang meriah, meski secara virtual, seakan merefleksikan cita-cita kolektif masyarakat untuk hidup bahagia berpasangan.

Selama belasan tahun menjadi pengguna Twitter, ya meskipun memang saya bukan pengguna yang begitu aktif, baru di akhir Mei 2023 kemarin saya menyaksikan sebuah selebrasi atas kelajangan di platform yang memang tidak ramah kepada para jomblo ini.

Indahnya, sebagian besar orang yang merayakan kelajangannya adalah para perempuan berusia matang di kepala tiga maupun empat. Dalam sebuah utas panjang, mereka secara bergantian mengutarakan kebahagiaan mereka hidup melajang. Mereka punya karier yang kalau tidak moncer cukup secure dan hobi yang membuat mereka merasa hidup. Meski tanpa pasangan, mereka dikelilingi teman-teman yang suportif, keluarga yang siap sedia mendukung, atau komunitas yang merangkul. Perayaan kesendirian sesemarak ini, di media sosial, sesuatu yang langka! Sebagai long-term single — istilah keren dari jomblo seumur hidup — yang telah menyentuh kepala tiga, perempuan pula, saya jelas terharu. Untuk pertama kalinya, sebagai warga internet, saya merasa memiliki teman satu tribe yang melimpah.

Tapi, saya hanya termangu menatap layar, tidak ikut dalam euforia merayakan segala keuntungan dan kenikmatan menjadi lajang di usia matang. Saya menyadari selama ini saya sangat berhati-hati dalam mengutarakan pengalaman pribadi menjadi lajang.

Bahagia menjadi lajang

Ada banyak alasan untuk merayakan kelajangan. Status lajang adalah simbol kebebasan. Para lajang punya lebih banyak waktu untuk belajar menjadi independen, mengenali diri, dan mengembangkan potensi diri dengan optimal. Individu lajang punya peluang lebih besar untuk mencapai kesuksesan karier, bahkan punya kesempatan lebih terbuka dalam bersosialisasi dan berjejaring.

Psikolog dari University of California, Bella DePaulo, satu dari segelintir peneliti yang giat mempelajari kehidupan para lajang, mengatakan dari studi yang dilakukannya para individu lajang menjalani kehidupan yang bermakna dengan menikmati kesendiriannya. Ini bertolak belakang dengan pandangan sosial yang mengasumsikan individu lajang serba merasa kekurangan.

Pandangan negatif terhadap kehidupan lajang memang pandangan kolot. Di kota-kota besar, pandangan sosial atas kelajangan semakin bergeser, pelan-pelan berubah seiring perkembangan zaman. Semakin banyak orang tak malu melajang di usia lebih dari 25 tahun. Saya sendiri punya banyak teman lajang dalam sirkel pertemanan dekat dan profesional. Lajang menjadi pilihan rasional untuk mengutamakan karier dan pendidikan. Banyak individu, termasuk perempuan, bangga menjadi lajang karena menunjukkan kesadaran diri mengambil keputusan terbaik untuk dirinya.

Dari pengamatan dan studi yang dilakukannya, DePaulo menyebutkan faktanya banyak perempuan lajang hidup tentram dan bahagia dalam kesendiriannya. Ini jelas meruntuhkan segala stigma yang menghakimi terhadap perempuan lajang. Kini, perempuan bisa menunjukkan status lajangnya sebagai bentuk perlawanan terhadap stigma. Namun, sudahkah lingkungan sosial dan masyarakat kita menerima perlawanan ini dengan lapang?

Sayangnya, saya tidak banyak memiliki pengalaman positif ketika menceritakan kebahagiaan hidup melajang kepada orang lain. Dari berbagai reaksi yang saya terima, kelajangan saya lebih sering diartikan sebagai kelancangan.

Serbasalah jadi perempuan lajang

Saya menyaksikan berbagai bentuk keheranan dari orang lain setiap kali saya mengutarakan berbangga hati menjadi lajang, merasa bebas, dan begitu menikmati hidup. Respons yang saya terima ada yang berupa pertentangan, diskriminasi, mempermalukan, hingga backhanded compliment atau bentuk pujian yang menyindir.

Reaksi pertentangan atau diskriminatif merupakan yang paling lumrah, biasanya datang dari orang-orang yang masih menganggap hidup berpasangan atau pernikahan adalah sesuatu yang sepantasnya dilakukan, terutama oleh perempuan.

Orang tua, paman, bibi, atau saudara lain — yang termasuk dua generasi lebih tua dari saya — segera memperingatkan bahwa saya akan kualat jika mengatakan saya lebih nyaman hidup melajang ketimbang punya pasangan. Mereka bilang perkataan seperti itu hanya akan membuat jodoh saya semakin jauh. “Anak gadis tidak baik ngomong seperti itu, nanti tak kunjung dijemput jodohnya.”

Pernah juga seorang teman laki-laki yang sedang giat mendalami penerapan ilmu Islam dalam keseharian merespons keras pertimbangan saya untuk hidup melajang tanpa pasangan. Ia terhenyak dan menilai itu adalah sebuah keputusan yang egois dan menentang fitrah perempuan. Menurutnya, ibadah manusia tidak akan sempurna tanpa pernikahan. Hampir-hampir saya gelap emosi, ini akal-akalannya siapa lagi menjadikan peran dalam rumah tangga sebagai fitrah perempuan?

Dan semakin bertambahnya usia, saya pun tak kunjung punya pasangan, semakin seringlah saya dikasihani orang karena tidak juga laku dan tidak ada laki-laki yang mau. Saya sangat bersyukur saya dianugerahi Tuhan bakat bebal dan kebal terhadap omongan dan cibiran orang. Selama ini, saya cukup acuh dengan pendapat orang tentang keputusan hidup saya. “Kasian, ya, sudah umur segitu, belum juga punya pasangan, belum juga menikah.” Namun, kadang saya bingung jika dikasihani orang. Mungkin benar ada rasa belas kasih yang tulus dalam keprihatinan terhadap orang lain, tapi saya tak memungkiri jika merasa direndahkan.

Semakin dikasihani, semakin saya tak habis pikir dan sampai mempertanyakan kembali siapa sebenarnya yang insecure? Saya yang jomblo bertahun-tahun atau society ini?

Ada kalanya keputusan saya untuk melajang mendapatkan penerimaan, tapi seperti ada sindiran yang mengekor dibaliknya. Backhanded compliment. Mereka memuji keputusan saya, tapi lantas memutar balik lidah mereka. “Wah, independen banget. Hebat ya betah sendirian aja, nggak butuh pasangan, nggak butuh cinta.”Respons seperti ini sungguh konyol, saya ingin terbahak setiap kali mendengarnya. Nggak butuh cinta. Kenapa mereka menilai saya begitu hebatnya?

Saya khawatir, bahkan semakin lama ketakutan, akan persepsi perempuan lajang yang dianggap bisa serbasendiri. Saya nyaman melajang bertahun-tahun lamanya, tapi tidak ada satu pun bagian dari ungkapan ini menyatakan saya hanya ingin sendiri dan tidak membutuhkan pasangan atau orang lain.

Pada akhirnya, saya jadi merasa serbasalah ketika membahas status lajang saya. Segan sesumbar kepada orang lain tentang banyaknya waktu berharga yang saya habiskan sendiri. Enggan berpartisipasi dalam diskursus soal perempuan lajang, seperti dalam utas yang saya ceritakan, padahal aspirasi saya bisa makin memeriahkan perayaan. Apa pun penjelasan yang saya berikan sering kali disalahartikan. Tanpa disadari, selama ini saya jadi melakukan swasensor dalam mengekspresikan diri sebagai individu lajang.

Perempuan lajang, lancang, dan jalang

Toleransi terhadap pilihan hidup untuk melajang memang semakin meningkat, tapi ekspektasi sosial yang menuntut perempuan untuk berumah tangga nyatanya masih mendominasi. Berbagai reaksi kurang mengenakkan yang saya terima merupakan perwujudan dari tuntutan sosial ini. Dari reaksi yang menentang, menyudutkan, hingga bernada kontraproduktif, semuanya adalah bentuk penolakan terhadap keputusan perempuan untuk hidup melajang.

Nilai tradisional yang masih mengakar menganggap perempuan memegang peran domestik dalam masyarakat, tempatnya adalah dalam rumah tangga. Budaya Indonesia juga sangat mengutamakan keutuhan keluarga, melanjutkan garis keturunan adalah tanggung jawab sosial. Terlebih lagi, nilai keagamaan yang memberi pengaruh kuat dalam pandangan masyarakat menekankan pernikahan sebagai tuntutan agama. Berumah tangga fitrah perempuan.

Praktis, perempuan yang terus melajang di usia matang dianggap gagal memenuhi peran sosialnya. Mereka tidak memenuhi peran gender yang diharapkan dan tidak diterima secara sosial sampai akhirnya menikah. Perempuan yang memilih untuk hidup melajang dianggap tidak kooperatif dalam menjaga norma yang ada, mereka bukan lagi tidak diterima, tapi kehilangan peran sosialnya. Sebagian orang yang memandang perempuan sebagai objek ibadah seperti teman laki-laki saya itu menganggap perempuan yang memilih jadi lajang beda tipis dengan perempuan jalang.

Pilihan untuk melajang di tengah masyarakat yang begitu memuliakan pernikahan dan kehidupan berkeluarga adalah keputusan penuh risiko.

Kerentanan sosial dalam hidup melajang

Walau awalnya saya bersikap cuek menepis reaksi tidak mengenakan yang pernah saya terima, alam bawah sadar saya sepertinya memproses dengan cara yang berbeda. Ia menginternalisasi ucapan-ucapan pahit itu dengan sungguh-sungguh. Lambat laun, ketakutan akan nasib buruk hidup melajang terpupuk juga dalam benak saya. Saya ikut percaya jodoh saya semakin jauh, saya takut ibadah duniawi tidak akan cukup di akhirat jika tidak kunjung menikah, dan saya pun ikut mengasihani diri sendiri. Tapi, ketakutan terbesar saya adalah kehilangan dukungan sosial. Benarkah saya bisa hidup berdikari, hanya mengandalkan sumber daya sendiri?

Kesulitan memperoleh dukungan moral dari lingkungan sekitar adalah alasan terkuat kenapa saya menyensor diri sebagai individu lajang dan menghindari selebrasi dalam setiap momen bahagia hidup melajang. Saya takut memperkuat persepsi bahwa wanita yang bahagia-bahagia saja hidup tanpa pasangan dalam waktu lama tidak membutuhkan orang lain, dan telah mandiri secara sosial. Lajang belum benar-benar diterima dalam lingkungan sosial yang masih menjunjung tinggi kehidupan berpasangan. Keputusan melajang bagi perempuan, apa pun alasan mulia dibaliknya dari kesuksesan karier hingga terus mencari pasangan terbaik, akan selalu menimbulkan sinisme, penolakan, dan stigma yang berujung pada perilaku diskriminatif dari lingkungan sosial.

Saya takut para perempuan lajang yang tak ragu menunjukkan independensi mendapatkan pengucilan yang ekstrem, dialienasi karena dianggap sudah mandiri secara sosial, sehingga mengalami krisis support system. Bukan tak mungkin, masyarakat yang menentang keputusan perempuan untuk hidup melajang memberikan hukuman pengucilan atas kejalangan dan kelancangan tidak ikut aturan memainkan peran gender yang normatif.

Salah satu bentuk alienasi yang langgeng terhadap perempuan lajang adalah stigma perawan tua yang dinilai kedaluwarsa secara biologis. Stigma ini adalah byproduct dari harapan masyarakat agar perempuan bisa memenuhi peran normatifnya sebagai istri dan ibu. Secara harfiah, seorang perawan belum berhubungan seksual sehingga belum mengaktifkan fungsi biologisnya untuk bereproduksi. Nah, perawan yang sudah tua hampir-hampir gagal menjalankan misi prokreasi manusia.

Selain gagal memenuhi fungsi seksualnya, stigma perawan tua juga lekat dengan penggambaran wanita yang keras, galak, dingin, dan tidak memiliki daya tarik. Ada istilah kuno yang disematkan untuk mewakili penggambaran perawan tua ini, yaitu spinster. Keji sekali pelabelan ini. Pasalnya, istilah spinster berasal dari profesi pemintal benang, pekerjaan yang sangat menjenuhkan, yang biasanya dilakoni wanita lanjut usia.

Meskipun penelitian DePaulo menunjukkan lajang yang hidup sendiri bisa bahagia, saya takut lagi-lagi timbul salah pengertian bahwa individu lajang bisa hidup mandiri tanpa dukungan dari lingkungan sekitarnya.

Saya tidak ingin adanya idealisasi kelajangan yang tidak menghiraukan risiko hidup melajang di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya melindungi individu lajang. Persepsi lajang yang begitu mandiri secara sosial bisa sangat merugikan kelompok lajang yang tidak ingin hidup sendirian selamanya atau sedang mencari pasangan. Individu lajang akhirnya malah mengalami isolasi sosial.

Padahal, kebebasan hidup sendiri tidak pernah bisa menggantikan fungsi relasi sosial. Kemandirian tidak bisa memenuhi kebutuhan koneksi sosial setiap individu.

Kelompok lajang, terutama perempuan, termasuk kelompok yang paling rentan mengalami kesepian kronis karena mengalami isolasi sosial.Penelitian tahun 2022 yang dilakukan Rahmadianty Gazadinda, dkk. dari Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Jakarta menunjukkan bahwa kesepian menurunkan empat dimensi kualitas hidup perempuan lajang di Indonesia, yang meliputi kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan.

Penurunan kualitas hidup ini bisa mengarah pada dampak kesehatan yang ditimbulkan dari masalah kesepian kronis. Menurut penelitian yang dilakukan Julianne Holt-Lunstad, profesor psikologi dan neurosains di Brigham Young University, risiko kesehatan dari kurangnya koneksi sosial sama berbahayanya dengan kebiasaan menyulut 15 batang rokok per hari. Isolasi sosial bisa menyebabkan seseorang mengalami kematian prematur karena dampak dari kesepian dua kali lebih berbahaya terhadap kesehatan fisik dan mental, sama seperti obesitas.

Meskipun memiliki relasi sosial yang kuat dengan teman, anggota keluarga, atau komunitasnya, individu lajang berisiko mengalami krisis support system ketika orang-orang terdekatnya lebih memprioritaskan keluarganya masing-masing. Di masa tua, lansia yang melajang akan kesulitan mendapatkan bantuan dan perhatian sosial.

Kuatnya relasi sosial telah banyak diketahui menjadi penunjang peningkatan kualitas hidup seseorang. Resep hidup panjang umur dan bahagia salah satunya adalah koneksi sosial yang langgeng, intim, dan berkualitas. Sementara itu, dukungan sosial merupakan sumber daya yang tidak secara konstan dimiliki individu lajang, bahkan mungkin seiring waktu menipis jumlahnya. Hidup sendirian memang bebas dan merdeka, tapi hidup dalam keterasingan sosial tanpa support system menyesakkan sekaligus mengerikan.

Sekuat atau sehebat apa pun citra yang ditampilkan para perempuan lajang, mereka bukan individu sok mandiri yang tidak butuh cinta. Kami tetap membutuhkan dukungan sosial, bahkan perlindungan sosial yang setara dengan individu lain yang terikat pernikahan.

Mungkin penerimaan sosial seutuhnya terhadap keputusan hidup melajang masih jadi angan-angan. Namun, di balik ketakutan saya, saya meyakini kelajangan adalah hal yang patut dirayakan. Setiap lajang punya pemaknaan berharganya sendiri terhadap kesendirian yang dipilihnya. Saya yakin siapa pun yang memutuskan menjadi lajang berdasarkan kehendaknya (single by choice), baik yang membuka diri untuk mencari pasangan maupun yang memutuskan untuk hidup melajang selamanya, sepantasnya bebas mengekspresikan diri tanpa takut akan konsekuensi sosial.

Meski sekadar angan-angan, saya tidak ingin berhenti berimajinasi tentang terwujudnya kehidupan sosial yang lebih baik untuk para lajang, di mana kesendirian bisa semarak dirayakan tanpa adanya stigma.

--

--

Fidhia Kemala

Ex-misanthrope who aspires to be a synthesis in the internet society.